Jakarta, Capres dan cawapres sedang kampanye. Berkeliling kemana-mana. Jalanan jadi macet. Kondisi daerah yang tenang jadi riuh-rendah. Dan ketenangan hidup yang terjaga mulai terganggu. Rakyat tersulut emosinya. Ironisnya itu bukan karena keberpihakannya terhadap calon tertentu, tapi oleh provokasi yang bernada fitnah dan mengingkari kenyataan. 'Aksi tipu-tipu' itu sekarang dipraktekkan para calon pemimpin negeri ini.
Ya, seruan bernada provokasi dan fitnah itu hari-hari ini terus terdengar. Setumpuk janji tampil berbuih-buih. Dengan lantang semua itu diteriakkan. Seakan rakyat ini bodoh, buta dan tuli. Tidak ingat serta tidak melihat apa yang pernah terjadi.
Saban hari, nada-nada tidak mendidik itu menjejali mata dan telinga kita. Diwartakan hampir semua stasiun televisi. Suasana tenang dan nyaman jadi gaduh. Yang muncul kemudian adalah ketegangan. Bukan hanya di keramaian dan tempat kerja, tetapi juga di ruang keluarga.
Rakyat jadi muak dengan segala seruan dan propaganda itu. Mereka mengganti channel berita, dan beralih ke telenovela, produk lokal atau impor. Tangis dan senyum lebih layak diberikan bagi cerita yang diolor-olor ini daripada mendengar kampanye yang ‘membodohkan’, memanaskan telinga dan mengundang amarah. Itu karena calon pemimpin negeri ini rata-rata mengingkari kenyataan dengan sikap dan jawaban yang penuh kepura-puraan.
Catatan Milan Kundera terhadap situasi negerinya yang ‘tidak bermoral' dan 'tidak beretika' sedang melanda negeri yang penuh kesopanan ini. Sikap itu memberi 'tauladan' bahwa politik dan politisi memang tidak perlu moralitas yang baik. Menjelekkan yang lain dianggap sah. Dan fitnah serta pengingkaran adalah kesahian.
Yang paling dramatis bagi saya adalah keterlibatan budayawan yang ikut mendorong arus ‘dekadensi’ ini. Sebab jika ‘penjaga moral’ itu sudah ‘tidak bermoral’ lagi, akan jadi apa negeri yang konon dihuni para manusia santun berkat pupuk budaya adiluhung itu. Adakah negeri ini sudah sedemikian parah ‘mentuhankan’ uang dan harta?
Calon-calon pemimpin itu juga lupa asal-muasalnya. Kelahiran dan sejarah yang menempa hidupnya. Mereka merasa lahir dari batu yang jatuh dari langit. Tidak ada yang tahu dan mengenal jatidirinya. Dan pengingkaran yang diteriakkan dianggap solusi untuk menghapus masalalu yang kelam.
Saya sering bertanya-tanya, nanti seperti apa jadinya negeri ini ketika mereka memerintah. Pengingkaran terlalu terang diteriakkan. Kebohongan sangat telanjang dihadirkan. Dan sikap antipati terhadap yang lain amat kental diungkapkan. Betapa, kita telah kehilangan ‘sikap kekeluargaan’ dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Situasi ini bagi saya amat merawankan. Kita ‘diarahkan’ untuk mengelompok dan siap ‘bertarung’ antar-kelompok. ‘Gaya Amerika’ yang dianggap demokratis terlalu mentah diadopsi. Kita tidak memfilternya dengan kearifan lokal. Padahal kita semua tahu, demokrasi berjalan baik jika tingkat intelektual rakyatnya sudah memadai. Sedang jika itu belum terjadi, maka demokrasi 'yang bugil' adalah benih anarkhisme radiks situasi chaostis!
Hari-hari ini, ketika di rumah sedang tidak ada kegiatan, setelah azan subuh bergema, saya lebih menikmati sajian Spacetoon. Chanel anak-anak ini ternyata lebih menghibur dibanding kampanye calon presiden yang meledak-ledak. Ada kesejukan yang membuat hidup lebih bergairah. Ada sentuhan yang membawa kita melupakan sejenak kepengapan hidup. Dan di tengah amuk emosi menjarah rakyat Indonesia, ternyata di chanel televisi anak-anak ini kenikmatan hidup bisa dirasakan.
Mudah-mudahan pilihan presiden yang makin memanas ini tidak sampai ‘meledak’. Perlu kesadaran antar-pihak untuk ‘mendinginkan’. Dan perlu wasit yang tegas agar provokasi yang berapi-api tidak sampai membakar negeri yang kita cintai ini.
Ya, seruan bernada provokasi dan fitnah itu hari-hari ini terus terdengar. Setumpuk janji tampil berbuih-buih. Dengan lantang semua itu diteriakkan. Seakan rakyat ini bodoh, buta dan tuli. Tidak ingat serta tidak melihat apa yang pernah terjadi.
Saban hari, nada-nada tidak mendidik itu menjejali mata dan telinga kita. Diwartakan hampir semua stasiun televisi. Suasana tenang dan nyaman jadi gaduh. Yang muncul kemudian adalah ketegangan. Bukan hanya di keramaian dan tempat kerja, tetapi juga di ruang keluarga.
Rakyat jadi muak dengan segala seruan dan propaganda itu. Mereka mengganti channel berita, dan beralih ke telenovela, produk lokal atau impor. Tangis dan senyum lebih layak diberikan bagi cerita yang diolor-olor ini daripada mendengar kampanye yang ‘membodohkan’, memanaskan telinga dan mengundang amarah. Itu karena calon pemimpin negeri ini rata-rata mengingkari kenyataan dengan sikap dan jawaban yang penuh kepura-puraan.
Catatan Milan Kundera terhadap situasi negerinya yang ‘tidak bermoral' dan 'tidak beretika' sedang melanda negeri yang penuh kesopanan ini. Sikap itu memberi 'tauladan' bahwa politik dan politisi memang tidak perlu moralitas yang baik. Menjelekkan yang lain dianggap sah. Dan fitnah serta pengingkaran adalah kesahian.
Yang paling dramatis bagi saya adalah keterlibatan budayawan yang ikut mendorong arus ‘dekadensi’ ini. Sebab jika ‘penjaga moral’ itu sudah ‘tidak bermoral’ lagi, akan jadi apa negeri yang konon dihuni para manusia santun berkat pupuk budaya adiluhung itu. Adakah negeri ini sudah sedemikian parah ‘mentuhankan’ uang dan harta?
Calon-calon pemimpin itu juga lupa asal-muasalnya. Kelahiran dan sejarah yang menempa hidupnya. Mereka merasa lahir dari batu yang jatuh dari langit. Tidak ada yang tahu dan mengenal jatidirinya. Dan pengingkaran yang diteriakkan dianggap solusi untuk menghapus masalalu yang kelam.
Saya sering bertanya-tanya, nanti seperti apa jadinya negeri ini ketika mereka memerintah. Pengingkaran terlalu terang diteriakkan. Kebohongan sangat telanjang dihadirkan. Dan sikap antipati terhadap yang lain amat kental diungkapkan. Betapa, kita telah kehilangan ‘sikap kekeluargaan’ dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Situasi ini bagi saya amat merawankan. Kita ‘diarahkan’ untuk mengelompok dan siap ‘bertarung’ antar-kelompok. ‘Gaya Amerika’ yang dianggap demokratis terlalu mentah diadopsi. Kita tidak memfilternya dengan kearifan lokal. Padahal kita semua tahu, demokrasi berjalan baik jika tingkat intelektual rakyatnya sudah memadai. Sedang jika itu belum terjadi, maka demokrasi 'yang bugil' adalah benih anarkhisme radiks situasi chaostis!
Hari-hari ini, ketika di rumah sedang tidak ada kegiatan, setelah azan subuh bergema, saya lebih menikmati sajian Spacetoon. Chanel anak-anak ini ternyata lebih menghibur dibanding kampanye calon presiden yang meledak-ledak. Ada kesejukan yang membuat hidup lebih bergairah. Ada sentuhan yang membawa kita melupakan sejenak kepengapan hidup. Dan di tengah amuk emosi menjarah rakyat Indonesia, ternyata di chanel televisi anak-anak ini kenikmatan hidup bisa dirasakan.
Mudah-mudahan pilihan presiden yang makin memanas ini tidak sampai ‘meledak’. Perlu kesadaran antar-pihak untuk ‘mendinginkan’. Dan perlu wasit yang tegas agar provokasi yang berapi-api tidak sampai membakar negeri yang kita cintai ini.
Komentar
Posting Komentar
Berilah komentar yang sopan dan membangun.